Konstitusi Berasal Dari Bahasa Perancis Constituer Yang Berarti, Istilah “konstitusi” dalam arti penyusunan, berasal dari bahasa Perancis constituer, yang berarti menyusun. M. Solly Lubis, juga mengemukakan Istilah “konstitusi” berasal dari “constituer” (bahasa Perancis) yang berarti menyusun. Dengan pengaplikasian istilah konstitusi, yang dimaksud adalah penyusunan suatu negara, atau membentuk dan mengungkapkan suatu negara. Sebagaimana yang disuarakan oleh K.C Wheare, sebagai berikut :
“a constitution is indeed the resultant of parallelogram of forces political, economic, and social which operate at the time its adoption” (konstitusi adalah hasil resultan dari segi daya politik, ekonomi, dan sosial yang beroperasi pada dikala diadopsi). (Terjemah oleh Penulis).
Konstitusi Berasal Dari Bahasa Perancis Constituer Yang Berarti, Konstitusi berdasarkan Carl Schmitt, ialah keputusan atau konsensus bersama seputar sifat dan wujud suatu kesatuan politik (eine Gesammtentscheidung über Art und Form einer politischen Einheit), yang disepakati oleh suatu bangsa. Walaupun James Bryce mengistilahkan konstitusi yaitu :
“A bingkai of political society, organized through and by law, that is to say on in which law has established permanent institution with recognized functions and definite rights” (Sebuah kerangka masyarakat politik, diselenggarakan melewati dan oleh peraturan, artinya di mana aturan sudah menyusun institusi permanen dengan fungsi yang diakui dan dengan hak-hak yang pasti). (Terjemah oleh Penulis).
Prof. Herman Heller membagi pengertian konstitusi itu ke dalam tiga pengertian merupakan sebagai berikut:
1. Konstitusi mencerminkan kehidupan politik di dalam suatu masyarakat sebagai suatu kenyataan (Die politische Verfassung als Gesellschaftliche Wirklichkeit) dan belum yakni konstitusi dalam arti peraturan (ein rechtsverfassung) atau dengan perkataan lain konstitusi itu masih ialah pengertian sosiologis atau politis dan belum adalah peraturan.
2. Baru sesudah orang-orang mencari elemen peraturannya dari konstitusi yang hidup dalam masyarakat itu untuk diciptakan dalam satu kesatuan kaidah aturan, karenanya konstitusi itu disebut Rechtsverfassung (Die Verselbstandgle Rechtsverfassung). Tugas untuk mencari faktor aturan dalam ilmu pengetahuan regulasi disebut dengan istilah abstraksi.
3. Kemudian orang mulai menuliskan dalam suatu naskah sebagai undang-undang yang tertinggi yang berlaku dalam suatu negara. Dengan demikian menjadi jelaslah bagi kita, bahwa bilamana kita mengaitkan pengertian konstitusi hal yang demikian dengan pengertian Undang-Undang Dasar, karenanya Undang-Undang Dasar itu hanyalah yaitu beberapa dari pengertian konstitusi itu sendiri. Dengan perkataan lain, konstitusi itu (die geschriebene verfassung), berdasarkan sebagian para sarjana ialah beberapa dari konstitusi dalam pengertian awam.
Pada dasarnya undang-undang-aturan (Konstitusi) ada yang tertulis sebagai keputusan badan yang berwajib, berupa UUD atau UU dan ada yang tak tertulis yang berupa usage, understanding, customs atau convention.
Dalam hal itu, A.A.H Struycken sebagaimana dikutip oleh Sri Soemantri, menerangkan bahwa konstitusi adalah sebuah dokumen formal yang berisikan empat hal pokok, adalah:
1. Hasil pengorbanan politik bangsa di waktu yang lampau;
2. Tingkat-tingkat tertinggi perkembangan ketatanegaraan bangsa;
3. Pandangan tokoh-tokoh bangsa yang hendak diciptakan, bagus untuk waktu kini ataupun untuk masa yang akan datang; dan
4. Suatu harapan, dengan mana perkembangan kehidupan ketatanegaraan bangsa hendak dipimpin.
Lebih lanjut James Bryce, menyuarakan terdapat tiga tujuan (objectives) dari penyusunan suatu konstitusi, adalah:
1. “to establish and maintain a pigura of government under which the work of the state can be effciently carried on, the aims of such a pigura of government being on the one hand to associate the people with the government and on the other hand, to preserve public order, to avoid hasty decision and to maintain a tolerable continuity of policy” (untuk membangun dan mempertahankan kerangka pemerintah di mana profesi negara bisa dijalankan secara efisien pada, tujuan seperti kerangka pemerintah berada di satu sisi untuk mengasosiasikan masyarakat dengan pemerintah dan di sisi lain, untuk menjaga ketertiban biasa, untuk menghindari keputusan terburu-buru dan untuk mempertahankan kelangsungan ditoleransi kebijakan);
2. “to provide due security for the rights of the individual citizen as respects person, property, and opinion, so that he shall have nothing to fear from the executive of from the tyranny of an excited majority” (untuk memberikan keamanan sebab hak-hak dari perseorangan warga negara sebagai pribadi, properti, dan anggapan, sehingga dia tak perlu takut dari eksekutif tirani mayoritas);
3. “to hold the state together, not only to prevent its disruption by the revolt or secession of a part of the nation, but to strengthen the cohesiveness of the country by creating good machinery for connecting the outlying parts with the center, and by appealing to every motive of interest and sentiment, that can leas all sections of the inhabitants to desire to remain united under on governments” (untuk mengatur negara bersama-sama, tak cuma untuk mencegah gangguan oleh pemberontakan atau pemisahan diri dari komponen bangsa, melainkan untuk memperkuat kekompakan negara dengan menjadikan mesin yang bagus untuk mengaitkan komponen-komponen terpencil dengan sentra, dan dengan motif menarik bagi tiap kepentingan dan sentimen, yang segala komponen penduduk mengharapkan untuk konsisten bersatu di bawah pemerintahan). (Terjemah oleh Penulis).
Mengacu pada sebagian anggapan hal yang demikian diatas, tampaklah alangkah pentingnya konstitusi bagi bangunan ketatanegaraan bagi suatu Negara. Sebab konstitusi yakni dasar bagi landasan pijak dan arah kemana negara akan dibawa secara khusus dalam menghasilkan good government.
Istilah “konstitusi” dalam bahasa Indonesia antara lain berpadanan dengan kata “constitution” (bahasa Latin), “constitution” (bahasa Inggris), “constitutie” (bahasa Belanda), “constitutionnel” (bahasa Perancis), “verfassung” (bahasa Jerman), “masyrutiyah” (bahasa Arab), lihat Astim Riyanto, 2000, Teori Konstitusi, YAPEMDO, Bandung, hal. 17.
A. Hamid S. Attamimi, 1990, Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia Dalam Penyelenggaraan Pemerintah Negara (Suatu Studi Analitik Mengenai Keputusan Presiden Pengaturan Berfungsi Regulasi Dalam Kurun Waktu Pelita I – Pelita VI. Disertasi Doktor Universitas Indonesia, Jakarta, hal. 288, dalam Maria Farida Indrawati Soeprapto, 1998, Ilmu Perundang Undangan: Dasar-Dasar Dan Pembentukannya, Kanisius, Yogyakarta, hal. 28.
Dahlan Thaib, Jazim Hamidi, dan Ni’matul Huda, 2005, Teori Dan Konstitusi, Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal. 11.